Overall it achieved a ranking of forty three{60f38816e3d604af96bc100616061b2a396245f4bbff94932aaccd46f1d42b56} by way of culture and surroundings (a hundred{60f38816e3d604af96bc100616061b2a396245f4bbff94932aaccd46f1d42b56} being preferrred) and a 27{60f38816e3d604af96bc100616061b2a396245f4bbff94932aaccd46f1d42b56} in infrastructure (100{60f38816e3d604af96bc100616061b2a396245f4bbff94932aaccd46f1d42b56} being supreme).
Seperti telah diungkap Stolley di bagian awal tulisan, widespread culture merupakan lawan dari High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture adalah lebih kecil tinimbang widespread culture. Sebab itu kaum bisnis-industrialis lebih melirik komersialisasi standard culture karena pendukung dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat sosial. Kathy S. Stolley menyebutkan bahwa tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Masyarakat pasti memiliki budaya. Namun, dalam benak sejumlah orang terkadang ada pertentangan antara apa yang dimaksud dengan budaya tinggi” (excessive culture) dengan budaya rendah” (low culture). Istilah low culture ini kurang pula tepat secara etika karena berkonotasi buruk sehingga istilah yang lebih tepat adalah Popular Culture (budaya populer). Roland, A, (1988). In Search of Self in India and Japan: A Cross-Cultural Psychology. New …