Overall it achieved a ranking of forty three{60f38816e3d604af96bc100616061b2a396245f4bbff94932aaccd46f1d42b56} by way of culture and surroundings (a hundred{60f38816e3d604af96bc100616061b2a396245f4bbff94932aaccd46f1d42b56} being preferrred) and a 27{60f38816e3d604af96bc100616061b2a396245f4bbff94932aaccd46f1d42b56} in infrastructure (100{60f38816e3d604af96bc100616061b2a396245f4bbff94932aaccd46f1d42b56} being supreme).
Seperti telah diungkap Stolley di bagian awal tulisan, widespread culture merupakan lawan dari High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture adalah lebih kecil tinimbang widespread culture. Sebab itu kaum bisnis-industrialis lebih melirik komersialisasi standard culture karena pendukung dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat sosial. Kathy S. Stolley menyebutkan bahwa tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Masyarakat pasti memiliki budaya. Namun, dalam benak sejumlah orang terkadang ada pertentangan antara apa yang dimaksud dengan budaya tinggi” (excessive culture) dengan budaya rendah” (low culture). Istilah low culture ini kurang pula tepat secara etika karena berkonotasi buruk sehingga istilah yang lebih tepat adalah Popular Culture (budaya populer). Roland, A, (1988). In Search of Self in India and Japan: A Cross-Cultural Psychology. New York: Princeton University Press. Setiap kegiatan yang diperuntukkan atau ditujukan utuk memberikan kepuasan kepada pelanggan, melalui pelayanan yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan.
Dalam konteks budaya populer ini, salah satu varian konsep yang berhasil dikembangkan adalah McDonalization. Istilah McDonalization dipopulerkan oleh George Ritzer tahun 1993 lewat tulisannya The McDonalization of Society. Ritzer mendefinisikan McDonalization sebagai. the method by which the ideas of the quick-meals restaurant are coming to dominate increasingly more sectors of American society as well as of the rest of the world.” Fenomena McDonalization tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat, melainkan juga di seluruh belahan dunia lain dalam mana beroperasi franchise-franchise McDonald, Pizza Hut, Hoka-hoka Bento, dan sejenisnya, termasuk Indonesia.
Seiring dengan subject globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang tenaga kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda, issue mengenai culture shock tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena culture shock bisa menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering melakukan aktifitas lintas budaya. Jelaslah bahwa kajian sistem budaya Indonesia berlangsung dalam aras Folk Culture. Telah umum diketahui, bahwa budaya Indonesia tumbuh di wilayah-wilayah yang tersekat oleh perairan dan pegunungan. Bangsa Indonesia terkotak-kotak” dalam sekat-sekat lingkungan sehingga masing-masing mengembangkan budaya mereka sendiri yang berbeda satu sama lain. Pengakuan perbedaan ini ada dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda tetapi tetap satu jua. Sebab itu, kajian sistem budaya Indonesia selain yang terpokok mengeksplorasi folks culture di Indonesia, juga akan membahas aneka budaya populer yang mengalami massifikasi menjadi mass culture yang pelan tetapi pasti menghegemoni folk-folk culture di Indonesia.
Segera terasa kehendak nirwan untuk menempatkan manusia, walau buta atau awal mulanya tak mengerti akan tiap sesuatu, setidaknya ada seberkas sinar terang untuk sebuah upaya pencarian – puisi menyebut, atau menghidup, kan upaya ini dengan metanomik, dalam tautan individu yang mengalami jarak dalam sebuah latar laut dengan mahluk-mahluk serupa ganggang, ubur-ubur, simbolik dari pengembaraan seorang penyair, di mana arus dan arah gelombang, adalah arus dan arah gelombang hidup itu sendiri. Manusia buta di tengah gejala penampakan dunia. Tapi ada aritmatika dan serat optik makna yang bisa membimbingnya.